MAKALAH
LATAR
BELAKANG PEMIKIRAN AL-GHAZALI DALAM KITAB AYYUH al WALAD
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bahtsul Kutub 4
Disusun Oleh
Yadi
210298
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU)
JEPARA
TAHUN 2013
BAB
I
PEMBAHASAN
LATAR
BELAKANG PEMIKIRAN AL-GHAZALI DALAM KITAB AYYUH al WALAD
Risalah Ayyuhal-Walad, dalam
bentuknya yang ringkas itu, terdiri dari pengantar dan enam bagian pembahasan.
Bagian pengantar
merupakan prolog yang berisi seputar
nasihat dan perdebatan para filosof tentang tujuan ilmu, kaitan ilmu dengan
amal, ilmu sebagai ketaatan, dan ibadah sebagai pelaksanaan tuntunan syara.
Bagian pertama
meliputi pembahasan tentang
kebenaran I’tikad, tobat, usaha menjahui debat kusir dalam masalah ilmu dan
perolehan ilmu syar’i.
Bagian kedua
berisi seputar amal saleh, pelatihan
jiwa, remehnya dunia, pembersihan jiwa dari sifat rakus (tamak) dan perlawanan
terhadap setan.
Bagian ketiga
berisi tentang seputar
pendidikan, yaitu terkait dengan pentingnya pengikisan akhlaq tercela dan
penanaman akhlaq terpuji.
Bagian keempat
mengulas
etika peserta didik yang banyak kesamaannya dengan paparan al-Ghazali dalam
kitab Ihya’.
Bagian kelima
memuat
topik perihal penganut sufi sejati, syarat-syarat istiqomah bersama Allah dan
ketenangan (al-sukun) bersama makhluk.
Bagian keenam
oleh
al-Ghazali diisi dengan beberapa nasihat penting bagi para peserta didik.
Keharusan mereka memadukan antara ilmu dan amal; larangan berdebat, kecuali
untuk tujuan mencari kebenaran; larangan terlalu “intim” dengan para penguasa;
larangan untuk menerima hadiah dari mereka karena “keintiman” yang seharusnya
hanyalah dengan Allah dan dengan sesuatu yang diridhai-Nya melalui ketekunan
dalam berbuat kebaikan.
Mukadimah risalah Ayyuh al-Walad yang
telah diterjemahkan oleh Islah Gusmian, mengemukakan “Ada seorang murid
yang tekun berkhidmat (membaktikan diri) kepada al-Ghazali, bersungguh-sungguh
dalam belajar dan mengaji kepadanya hingga mampu menguasai secara mendalam
ragam keilmuan dan mencapai kesempurnaan jiwa…lalu, pada suatu hari, ia
berpikir dalam hati, “Saya telah begitu banyak mempelajari ilmu dan telah
banyak menghabiskan umur untuk mendalaminya. Sekarang sudah saatnya, saya
meninggalkan al-Ghazali untuk mendalami ilmu yang berguna bagi saya di akhirat
nanti (mengingat)
Nabi pernah bersabda,
اللهم اعوذبك من علم لاينفع
Artinya
‘Ya Allah, aku minta perlindungan kepada-Mu dari ilmu yang tidak
berguna. Pikiran seperti ini terus muncul di benak murid, hingga akhirnya
ia menyampaikan kepada al- Ghazali untuk meminta nasihat, dan juga ia
mengajukan banyak pertanyaan kepadanya. Hal inilah yang kemudian
melatarbelakangi penulisan risalah Ayyuhal-Walad” Melalui mukaddimah
yang dijabarkan Muhammad Jawab Ridha, intisarinya ada beberapa konsep motivasi
pendidikan al-Ghazali dalam menanamkan dan mengembangkan pendidikan melalui
nilai-nilai yang Islami, yakni yang terangkum dalam kitab Ayyuh al-Walad,
diantaranya:
1. Tentang Eksistensi Ilmu
Pendidikan menurut Islam didasarkan
pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa
"potensi bawaan" seperti potensi "keimanan", potensi untuk
memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, dan potensi fisik.
Persepsi yang demikian menjadi keniscayaan manusia agar memanfaatkan
potensi-potensinya untuk berilmu pengetahuan.
Mendorong dan mengarahkan perserta
didik dalam proses pendidikan adalah suatu keniscayaan dalam proses humanisasi
kehidupan. Dalam hal ini pendidikan menjadi sentral dalam proses mentransfer
ilmu pengetahuan. Disini al-Ghazali menjelaskan melalui nasehatnya yang
tertuang dalam Kitab Ayyuh al-Walad, sebagaimana berikut:
Menurut al-Ghazali, Inti dari ilmu adalah pengetahuan yang
membuatmu paham akan makna ketaatan dan ibadah.[1]
Abidin ibnu Rusn, menjelaskan yang mengutip pendapatnya beliau, bahwa manusia
dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian
banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan pendidikan,
karena ilmu dan amalnya.[2]
Selanjutnya al-Ghazali menyarankan
dalam menuntut ilmu mempunyai semangat, hal ini dapat dilihat dalam nasehatnya
berikut:
Duhai Anakku…!
Bangkitkan semangat di jiwamu, kalahkan hawa nafsumu, dan peringatkan badanmu
dengan kematian, karena kubur adalah tempat kediamanmu kelak. Para penghuni
kubur setiap saat menantikan kedatanganmu. Hati-hati, jangan sampai kau
mendatangi mereka tanpa bekal. Diteruskan lagi dengan nasehatnya berikut:
Duhai Anakku..! Duhai anakku..!
Hendaknya kau usahakan agar perkataan dan perbuatanmu tidak bertentangan dengan
syariah. Sebab, ilmu dan amal tanpa landasan syariah akan sesat. Dan jangan
sampai kau tertipu oleh ucapan-ucapan yang aneh kaum sufi[3].
Sebab jalan ini harus ditempuh dengan cara Mujahadah, mengalahkan syahwat, dan
menundukkan hawa nafsu dengan pedang, bukan dengan ucapan kosong yang tidak
bermanfaat. Ketahuilah bahwa lidah yang bebas (seenaknya) berkata-kata dan hati
yang tertutup dan dipenuhi dengan kelalaian dan syahwat adalah pertanda
kesengsaraan (syaqawah). Jika tadak kau tindukkan
nafsumu dengan mujahadah yang benar, niscaya hatimu tidak akan
pernah hidup dengan nur ma’rifat.[4]
Fenomena yang demikian ditafsirkan
oleh Islah Gusmian melalui bahasa yang sederhana demikian, “Jika ingin pintar,
tentu kita harus belajar. Jika ingin kaya, ya kita harus bekerja keras. Kalau
mau selamat di dunia dan di akhirat, jalannya adalah beramal saleh sebagai
investasi akhirat”. Artinya disini menjelaskan manfaat suatu ilmu dapat
memberikan potensi untukmemberikan gerak dan aktivitas yang memberi manfaat
bagi semesta, sedangkan kebodohan hanya memberikan ketiadaan.[5]
2. Tentang Kebenaran I’tikad (Niat)
Bernilai dan
tidaknya suatu perbuatan adalah tergantung pada kebenaran niat, karena niat
adalah keyakinan dalam hati dan kecenderungan ataupun arahan untuk melakukan
suatu pekerjaan tertentu.
Pada hakikatnya niat sebagai dasar
awal dalam menggapai tujuan. Al-Ghazali menjelaskan eksistensi niat sebagaiman
berikut yang disampaikan kepada murid tercintanya dalam bentuk nasihat melalui
kitab Ayyuh al-Walad:
Duhai anakku! Telah begitu banyak malam yang kamu lalui dengan
membaca lembaran-lembaran kitab, dan kamu pun terus terjaga. Saya tidak tahu
apa yang mendorongmu melakukannya. Jika hal itu kamu lakukan dengan niat agar
nanti meraih harta benda, popularitas, pangkat, dan jabatan, kamu akan celaka.
Jika kamu melakukannya dengan niat dapat membuat jaya syari’at Nabi, meluruskan
akhlaqmu, dan mengendalikan nafsu yang liar, kamu beruntung.[6]
Al-Ghazali
menjelaskan dalam Kitab Fatihatul Ulum, bahwa niat adalah syarat sah
segala jenis ibadah, keikhlasan adalah syarat syah dari niat itu sendiri[7]
Kemudian dalam kitab monomentalnya Ihya’ Ulumuddin dijelaskan
demikian, “Niat, kehendak, dan tujuan adalah ungkapan yang mempunyai
satu arti, yaitu keadaan dan sifat hati yang mengandung kaitan antara
ilmu dan amal[8]
niat dalam aktivitas kehidupan yang ada kaitannya dengan eksistensi ilmu
pengetahuan adalah suatu keniscayaan, sebagaimana Hadis berikut:
إنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ
وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ
يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung
dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia
niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka
hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia
yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya
kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Bukhary-Muslim dari ‘Umar bin
Khoththob RA)
Secara global
dapat dimaknai bahwa niat dan perbuatan tidak dapat dipisahkan, sebab niat
merupakan keyakinan yang timbul dari suatu kehendak manusia dan perilaku adalah
cerminan dari niat itu sendiri. Yakni disini dapat dijelaskan, niat adalah
sebagai perencanaan awal untuk melakukan perbuatan kearah tujuan yang ingin
dicapai.
3. Tentang Pendidikan Akhlak
Manusia dalam
menjalankan tugas hidupnya dibekali Allah dengan duahal yaitu: kebebasan dan
hidayah. Dengan kebebasan, manusia memiliki dinamika dan daya adaptasi terhadap
lingkungan serta daya kreativitas hidup sehingga kehidupan dan lingkungan
hidupnya menjadi bervariasi. Manusia dapat membedakan antara antara nilai baik
dan buruk, jalan hidup yang benar dan lurus dari dari sesat dan berliku-likudan
sebagainya adalah karena adanya modal dasar yang sangat berharga yakni akal.[9]
pada hakikatnya
yang harus difungsikan agar manusia bias membedakan antara nilai baik dan
buruk, benar dan salah, dalam eksistensi akhlak, al-Ghazali menjelaskan
sebagaimana nasihat yang disampaikan terhadap murid tercintanya melalui kitab Ayyuh
al-Walad yang meliputi:
Ø Pertama, berakidah yang benar, tanpa dicampuri bid’ah.
Ø Kedua, bertobat dengan tulus, dan tidak mengulang lagiperbuatan
hina (dosa) itu.
Ø Ketiga, meminta keridhaan dari musuh-musuhmu sehingga tidak ada lagi
hak orang lain yang masih tertinggal padamu.
Ø Keempat, mempelajari ilmu syariah, sekedar yang dibutuhkan untuk
melaksanakan perintah-perintah Allah. Juga pengetahuan tentang akhirat yang
dengannya kau dapat selamat.[10]
Empat hal yang dinasehatkan al-Ghazali berfungsi sebagai resep
untuk meraih keutamaan diri dalam hidup, beliau memulai dengan keyakinan
yangberfungsi sebagai sistem pengetahuan yang dihasilkan dari hati.
Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad memberikan dorongan
agar dengan ilmu pengetahuan bisa bermanfaat dalam menumbuhkan realita etika
dan moral, baik melalui jalan hablumminannas dan hablumminallah,
dan hal ini bisa terwujud melaluji pengamalan ilmu sebagaimana seruan
al-Ghazali mengenai wajibnya mengamalkan ilmu berikut; “Duhai anakku! Jika kamu
tidak beramal, kamu tidak akan mendapatkan pahala. Ternyata apa yang telah di
tuangkan al-Ghazali dalam nasehat kepada murid tercintanya diintisarikan dari
Hadis Nabi Saw.
Aِrtinya; “Bermuhasabalah terhadap dirimu sendiri,
sebelum kamu menghadapi perhitungan amal”;
BAB II
KESIMPULAN DAN PENUTUP
[1] Al-Ghazali. Ayyuh
al Walad, Ibid, hlm.25
[2]
Abidin Ibnu
Rusn. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1998), hlm. 41
[3]
Ketika
hanyut dalam dzikirnya, kaum sufi kadang kala mengucapkan kelimatkalimat
ganjil yang seringkali sulit
dipahami dan tak dapat diterima akal sehat.
[4] 5 Al-Ghazali, Op,Cit,
hlm.25-26
[5] 6 Al-Ghazali. Surat
Cinta Al-Ghazali, hlm. 42-43
[7] Al-Ghzali. Buat
Pencita Ilmu. hlm. 34
[8] Al-Ghazali. Ringkasan
Ihya’ Ulumuddin.Op,Cit,hlm. 428
[9] Abidin Ibnu Rusn.
Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,Op,Cit,hlm. 129
[10] Al-Ghazali. Ayyuh
al-Walad. Ibid, hlm. 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar