Jumat, 18 April 2014

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN AL-GHAZALI DALAM KITAB AYYUH al WALAD



                                           MAKALAH

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN AL-GHAZALI DALAM KITAB AYYUH al WALAD

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bahtsul Kutub 4





Disusun Oleh
    
Yadi
210298


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (UNISNU) JEPARA
TAHUN 2013






BAB I
PEMBAHASAN

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN AL-GHAZALI DALAM KITAB AYYUH al WALAD
            Risalah Ayyuhal-Walad, dalam bentuknya yang ringkas itu, terdiri dari pengantar dan enam bagian pembahasan.
            Bagian pengantar
            merupakan prolog yang berisi seputar nasihat dan perdebatan para filosof tentang tujuan ilmu, kaitan ilmu dengan amal, ilmu sebagai ketaatan, dan ibadah sebagai pelaksanaan tuntunan syara.
            Bagian pertama
            meliputi pembahasan tentang kebenaran I’tikad, tobat, usaha menjahui debat kusir dalam masalah ilmu dan perolehan ilmu syar’i.
            Bagian kedua
            berisi seputar amal saleh, pelatihan jiwa, remehnya dunia, pembersihan jiwa dari sifat rakus (tamak) dan perlawanan terhadap setan.
            Bagian ketiga
             berisi tentang seputar pendidikan, yaitu terkait dengan pentingnya pengikisan akhlaq tercela dan penanaman akhlaq terpuji.
            Bagian keempat
            mengulas etika peserta didik yang banyak kesamaannya dengan paparan al-Ghazali dalam kitab Ihya’.
            Bagian kelima
memuat topik perihal penganut sufi sejati, syarat-syarat istiqomah bersama Allah dan ketenangan (al-sukun) bersama makhluk.
            Bagian keenam
oleh al-Ghazali diisi dengan beberapa nasihat penting bagi para peserta didik. Keharusan mereka memadukan antara ilmu dan amal; larangan berdebat, kecuali untuk tujuan mencari kebenaran; larangan terlalu “intim” dengan para penguasa; larangan untuk menerima hadiah dari mereka karena “keintiman” yang seharusnya hanyalah dengan Allah dan dengan sesuatu yang diridhai-Nya melalui ketekunan dalam berbuat kebaikan.
            Mukadimah risalah Ayyuh al-Walad yang telah diterjemahkan oleh Islah Gusmian, mengemukakan Ada seorang murid yang tekun berkhidmat (membaktikan diri) kepada al-Ghazali, bersungguh-sungguh dalam belajar dan mengaji kepadanya hingga mampu menguasai secara mendalam ragam keilmuan dan mencapai kesempurnaan jiwa…lalu, pada suatu hari, ia berpikir dalam hati, “Saya telah begitu banyak mempelajari ilmu dan telah banyak menghabiskan umur untuk mendalaminya. Sekarang sudah saatnya, saya meninggalkan al-Ghazali untuk mendalami ilmu yang berguna bagi saya di akhirat nanti (mengingat)
            Nabi pernah bersabda,
اللهم اعوذبك من علم لاينفع
Artinya ‘Ya Allah, aku minta perlindungan kepada-Mu dari ilmu yang tidak berguna. Pikiran seperti ini terus muncul di benak murid, hingga akhirnya ia menyampaikan kepada al- Ghazali untuk meminta nasihat, dan juga ia mengajukan banyak pertanyaan kepadanya. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi penulisan risalah Ayyuhal-Walad” Melalui mukaddimah yang dijabarkan Muhammad Jawab Ridha, intisarinya ada beberapa konsep motivasi pendidikan al-Ghazali dalam menanamkan dan mengembangkan pendidikan melalui nilai-nilai yang Islami, yakni yang terangkum dalam kitab Ayyuh al-Walad, diantaranya:
1. Tentang Eksistensi Ilmu
Pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa "potensi bawaan" seperti potensi "keimanan", potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, dan potensi fisik. Persepsi yang demikian menjadi keniscayaan manusia agar memanfaatkan potensi-potensinya untuk berilmu pengetahuan.
Mendorong dan mengarahkan perserta didik dalam proses pendidikan adalah suatu keniscayaan dalam proses humanisasi kehidupan. Dalam hal ini pendidikan menjadi sentral dalam proses mentransfer ilmu pengetahuan. Disini al-Ghazali menjelaskan melalui nasehatnya yang tertuang dalam Kitab Ayyuh al-Walad, sebagaimana berikut:
Menurut al-Ghazali, Inti dari ilmu adalah pengetahuan yang membuatmu paham akan makna ketaatan dan ibadah.[1] Abidin ibnu Rusn, menjelaskan yang mengutip pendapatnya beliau, bahwa manusia dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pengajaran dan pendidikan, karena ilmu dan amalnya.[2]
Selanjutnya al-Ghazali menyarankan dalam menuntut ilmu mempunyai semangat, hal ini dapat dilihat dalam nasehatnya berikut:

            Duhai Anakku…! Bangkitkan semangat di jiwamu, kalahkan hawa nafsumu, dan peringatkan badanmu dengan kematian, karena kubur adalah tempat kediamanmu kelak. Para penghuni kubur setiap saat menantikan kedatanganmu. Hati-hati, jangan sampai kau mendatangi mereka tanpa bekal. Diteruskan lagi dengan nasehatnya berikut:
Duhai Anakku..! Duhai anakku..! Hendaknya kau usahakan agar perkataan dan perbuatanmu tidak bertentangan dengan syariah. Sebab, ilmu dan amal tanpa landasan syariah akan sesat. Dan jangan sampai kau tertipu oleh ucapan-ucapan yang aneh kaum sufi[3]. Sebab jalan ini harus ditempuh dengan cara Mujahadah, mengalahkan syahwat, dan menundukkan hawa nafsu dengan pedang, bukan dengan ucapan kosong yang tidak bermanfaat. Ketahuilah bahwa lidah yang bebas (seenaknya) berkata-kata dan hati yang tertutup dan dipenuhi dengan kelalaian dan syahwat adalah pertanda kesengsaraan (syaqawah). Jika tadak kau tindukkan
nafsumu dengan mujahadah yang benar, niscaya hatimu tidak akan pernah hidup dengan nur ma’rifat.[4]
Fenomena yang demikian ditafsirkan oleh Islah Gusmian melalui bahasa yang sederhana demikian, “Jika ingin pintar, tentu kita harus belajar. Jika ingin kaya, ya kita harus bekerja keras. Kalau mau selamat di dunia dan di akhirat, jalannya adalah beramal saleh sebagai investasi akhirat”. Artinya disini menjelaskan manfaat suatu ilmu dapat memberikan potensi untukmemberikan gerak dan aktivitas yang memberi manfaat bagi semesta, sedangkan kebodohan hanya memberikan ketiadaan.[5]
2. Tentang Kebenaran I’tikad (Niat)
            Bernilai dan tidaknya suatu perbuatan adalah tergantung pada kebenaran niat, karena niat adalah keyakinan dalam hati dan kecenderungan ataupun arahan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu.
Pada hakikatnya niat sebagai dasar awal dalam menggapai tujuan. Al-Ghazali menjelaskan eksistensi niat sebagaiman berikut yang disampaikan kepada murid tercintanya dalam bentuk nasihat melalui kitab Ayyuh al-Walad:
Duhai anakku! Telah begitu banyak malam yang kamu lalui dengan membaca lembaran-lembaran kitab, dan kamu pun terus terjaga. Saya tidak tahu apa yang mendorongmu melakukannya. Jika hal itu kamu lakukan dengan niat agar nanti meraih harta benda, popularitas, pangkat, dan jabatan, kamu akan celaka. Jika kamu melakukannya dengan niat dapat membuat jaya syari’at Nabi, meluruskan akhlaqmu, dan mengendalikan nafsu yang liar, kamu beruntung.[6]
            Al-Ghazali menjelaskan dalam Kitab Fatihatul Ulum, bahwa niat adalah syarat sah segala jenis ibadah, keikhlasan adalah syarat syah dari niat itu sendiri[7]
Kemudian dalam kitab monomentalnya Ihya’ Ulumuddin dijelaskan demikian, “Niat, kehendak, dan tujuan adalah ungkapan yang mempunyai satu arti, yaitu keadaan dan sifat hati yang mengandung kaitan antara ilmu dan amal[8] niat dalam aktivitas kehidupan yang ada kaitannya dengan eksistensi ilmu pengetahuan adalah suatu keniscayaan, sebagaimana Hadis berikut:

إنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ
Artinya: “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan, maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Bukhary-Muslim dari ‘Umar bin Khoththob RA) 
            Secara global dapat dimaknai bahwa niat dan perbuatan tidak dapat dipisahkan, sebab niat merupakan keyakinan yang timbul dari suatu kehendak manusia dan perilaku adalah cerminan dari niat itu sendiri. Yakni disini dapat dijelaskan, niat adalah sebagai perencanaan awal untuk melakukan perbuatan kearah tujuan yang ingin dicapai.
3. Tentang Pendidikan Akhlak
            Manusia dalam menjalankan tugas hidupnya dibekali Allah dengan duahal yaitu: kebebasan dan hidayah. Dengan kebebasan, manusia memiliki dinamika dan daya adaptasi terhadap lingkungan serta daya kreativitas hidup sehingga kehidupan dan lingkungan hidupnya menjadi bervariasi. Manusia dapat membedakan antara antara nilai baik dan buruk, jalan hidup yang benar dan lurus dari dari sesat dan berliku-likudan sebagainya adalah karena adanya modal dasar yang sangat berharga yakni akal.[9]
            pada hakikatnya yang harus difungsikan agar manusia bias membedakan antara nilai baik dan buruk, benar dan salah, dalam eksistensi akhlak, al-Ghazali menjelaskan sebagaimana nasihat yang disampaikan terhadap murid tercintanya melalui kitab Ayyuh al-Walad yang meliputi:
Ø  Pertama, berakidah yang benar, tanpa dicampuri bid’ah.
Ø  Kedua, bertobat dengan tulus, dan tidak mengulang lagiperbuatan hina (dosa) itu.
Ø  Ketiga, meminta keridhaan dari musuh-musuhmu sehingga tidak ada lagi hak orang lain yang masih tertinggal padamu.
Ø  Keempat, mempelajari ilmu syariah, sekedar yang dibutuhkan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Juga pengetahuan tentang akhirat yang dengannya kau dapat selamat.[10]
Empat hal yang dinasehatkan al-Ghazali berfungsi sebagai resep untuk meraih keutamaan diri dalam hidup, beliau memulai dengan keyakinan yangberfungsi sebagai sistem pengetahuan yang dihasilkan dari hati.
Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad memberikan dorongan agar dengan ilmu pengetahuan bisa bermanfaat dalam menumbuhkan realita etika dan moral, baik melalui jalan hablumminannas dan hablumminallah, dan hal ini bisa terwujud melaluji pengamalan ilmu sebagaimana seruan al-Ghazali mengenai wajibnya mengamalkan ilmu berikut; “Duhai anakku! Jika kamu tidak beramal, kamu tidak akan mendapatkan pahala. Ternyata apa yang telah di tuangkan al-Ghazali dalam nasehat kepada murid tercintanya diintisarikan dari Hadis Nabi Saw.

Aِrtinya; “Bermuhasabalah terhadap dirimu sendiri, sebelum kamu menghadapi perhitungan amal”;












BAB II
KESIMPULAN DAN PENUTUP




[1] Al-Ghazali. Ayyuh al Walad, Ibid, hlm.25
[2] Abidin Ibnu Rusn. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 41
[3] Ketika hanyut dalam dzikirnya, kaum sufi kadang kala mengucapkan kelimatkalimat
ganjil yang seringkali sulit dipahami dan tak dapat diterima akal sehat.
[4] 5 Al-Ghazali, Op,Cit, hlm.25-26
[5] 6 Al-Ghazali. Surat Cinta Al-Ghazali, hlm. 42-43
[6]  Al-Ghazai, Ayyuh al-Walad.Op,Cit, hlm. 16
[7] Al-Ghzali. Buat Pencita Ilmu. hlm. 34
[8] Al-Ghazali. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin.Op,Cit,hlm. 428
[9] Abidin Ibnu Rusn. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,Op,Cit,hlm. 129
[10] Al-Ghazali. Ayyuh al-Walad. Ibid, hlm. 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar